Minggu, 29 Maret 2015

Zawal dan Ghurub



ZAWAL DAN GHURUB DALAM PENENTUAN WAKTU SHOLAT
Oleh: Abdulloh Hasan,S.Pd.I

A.       PENDAHULUAN
Firman Alloh SWT dalam Q.S. An Nisa’ : 103 :
انّ الصلاة كانت على المؤمــنين كـتابا موقـوت
Sesungguhnya sholat itu diwajibkan atas orang-orang yang beriman menurut waktu-waktu tertentu.” [1]
Ayat tersebut  menerangkan waktu-waktu shalat maktubah yang diperinci berdasarkan perubahan siang dan malam (peredaran Matahari). Waktu tergelincir matahari untuk menunjukkan waktu shalat Zhuhur dan Ashar yang dilaksanakan pada siang hari sedangkan malam hari dipergunakan untuk menunjukkan waktu Magrib dan Isya dan sholat Shubuh ditentukan berdasarkan fajar.
Adapun diantara hadist yang menerangkan tentang waktu sholat yaitu hadist dari Ibnu Abbas ra :
عن ابن عباس رضى الله عنهما أن النبي صلي الله عليه وسلم " قال أمني جبريل عند البيت مرتين فصلي الظهر في المرة الاولي حين كان الفئ مثل الشراك ثم صلي العصر حين كان كل شئ مثل ظليه ثم صلي المغرب حين وجبت الشمس وأفطر الصائم ثم صلي العشاء حين غاب الشفق ثم صلى الفجر حين برق الفجر وحرم الطعام علي الصائم وصلي المرة الثانية الظهر حين كان ظل كل شئ مثله لوقت العصر بالامس ثم صلي العصر حين كان ظل كل شئ مثليه ثم صلي المغرب لوقته الاول ثم صلي العشاء الآخرة حين ذهب ثلث الليل ثم صلى الصبح حين اسفرت الارض ثم التفت الي جبريل فقال يا محمد هذا وقت الانبياء قبلك والوقت فيما بين هذين الوقتين " رواه أبو داود والترمذي وغيرهما من اصحاب السنن والحاكم أبو عبد الله في المستدرك وقال هو حديث صحيح وقال الترمذي حديث حسن
Adapun ayat-ayat Al Qur’an yang lain terkait dengan waktu sholat dan juga hadist- hadist Nabi SAW yang memberikan acuan dalam penetapan waktu sholat, kesemuanya tidak lepas dari peredaran Matahari mulai dari terbit matahari, kulminasi, terbenam, midninght dan terbit kembali selama 24 jam. Dalam penentuan waktu sholat para pakar ilmu falak memperkenalkan istilah- istilah Zawal untuk menunjukkan waktu Dhuhur, bayang- bayang Ashar untuk menunjukkan waktu Ashar, Ghurub untuk menentukan waktu Maghrib, Syafaq untuk menentukan waktu Maghrib dan Isya’, Fajar untuk menentukan waktu Shubuh, Syuruq untuk menunjukkan waktu matahari terbit dan Dhuha untuk menunjukkan waktu Dhuha. Dalam makalah ini akan menguraikan kajian Zawal dan Ghurub dalam penentuan waktu sholat.

B.     PEMBAHASAN
1.      Kajian Waktu Zawal dalam Penentuan Waktu Sholat Dhuhur
Dalam QS. Surat Al Isra’ : 78 Alloh berfirman :
أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمۡسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيۡلِ وَقُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِۖ إِنَّ قُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِ كَانَ مَشۡهُودٗا ٧٨
 “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
Dalam ayat tersebut di atas umat islam diperintahkan untuk melaksanakan sholat dimulai pada saat duluki syamsi. Lafadz دلك  memiliki makna cenderung, tergelincir. Dari makna cenderung dan tergelincir menggambarkan keadaan kritis di posisi puncak, yang sesaat kemudian bergeser atau tergelincir ke Barat. Dalam hal ini keadaan kritis tersebut di sebut istiwa’/ ghayah.[2] Sedangkan waktu sholat dimulai setelah matahari bergeser atau tergelincir ke Barat yang disebut dengan waktu zawal sebagai awal waktu dari sholat dhuhur.
Waktu dhuhur dimulai apabila matahari terlepas dari titik kulminasi atas, atau matahari terlepas dari meridian langit. Waktu dhuhur inilah yang disebut dengan zawal. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
Artinya: “Dan waktu dhuhur dimulai ketika matahari telah tergelincir.” (HR. Muslim dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash).
Dalam penentuan waktu dhuhur (baca: Waktu Zawal), harus memahami fenomena matahari pada saat-saat membuat atau mewujudkan keadaan yang merupakan pertanda bagi awal atau akhir waktu sholat. Diantara kedudukan matahari terkait dengan waktu dhuhur adalah kulminasi atau Meridian Pass. Kulminasi (Meridian Pass) adalah posisi waktu pada saat matahari tepat di titik kulminasi atas atau tepat di meridian langit menurut waktu pertengahan, yang menurut waktu hakiki saat itu menunjukkan tepat jam 12 siang. Titik kulminasi ini merupakan posisi matahari  pada kedudukannya yang tertinggi dalam perjalanan hariannya. [3]
Titik tengah yang ditentukan sebagai titik kulminasi ini merupakan garis perjalanan matahari yang ditarik dari ufuk barat dan ufuk timur sepanjang horizon.  Nilai ketinggian atau altitude matahari tertinggi dalam perjalanannya adalah 90o yang mana pada saat itu posisi matahari tepat pada meridian bumi.[4] Sehingga garis meridian merupakan garis setengah lingkaran langit yang menghubungkan titik arah utara, zenith dan titik selatan. Pada saat kulminasi, matahari memiliki hour angle sama dengan nol derajat. Sementara, azimuth matahari pada saat kulminasi menurut suatu tempat   pengamatan tertentu bisa bernilai 0 o atau 180o. Jika pada saat transit, matahari terletak di belahan langit utara, atau tepat di titik pada garis yang menghubungkan titik  zenith dengan titik arah utara, nilai azimuth matahari sama dengan 0o. Sementara jika terletak di belahan langit selatan, atau tepat di titik pada   garis yang menghubungkan titik zenith dengan titik arah selatan, nilai azimuth matahari sama dengan 180o.[5]
Waktu dhuhur dimulai apabila matahari sudah tergelincir dari waktu istiwa’ yaitu saat terlepasnya seluruh piringan matahari dari titik kulminasi atas, atau matahari terlepas dari meridian langit.[6] Dalam penentuan waktu dhuhur ini, ulama ahli fiqih memberikan banyak argumen dalam penetapannya. Syekh Syamsudin  Muhammad bin Ahmad Asy Syarbaini dalam kitabnya Al Iqna’ menyampaikan[7] :
أما وقت الظهر فيدخل بالزوال وهو زيادة في الظل بعد استواء الشمس أو حدوثه إن لم يكن عند الاستواء ظل وذلك يتصور في بعض البلاد كمكة وصنعاء اليمن في أطول أيام السنة ويخرج وقتها إذا صار ظل الشخص مثله سوى الظل الذي كان عند الزوال إن كان ظل وما بين الطرفين وقت اختيار
Beliau menyampaikan bahwa waktu dhuhur dimulai pada saat waktu zawal, yaitu  saat bertambahnya bayangan suatu benda setelah waktu istiwa’ atau apabila pada waktu istiwa’ tidak terdapat bayangan, maka ketika terbentuknya bayangan setelah waktu istiwa’ tersebut merupakan waktu dhuhur.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Muhadzab menyampaikan bahwa waktu dhuhur ketika matahari telah tergelincir, yang mana sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra diatas. Dalam syarahnya Imam Nawawi menyampaikan bahwa yang dimaksud waktu zawal adalah ketika kemiringan matahari dari garis tengah langit (Meridian) setelah tengah hari yang ditandai dengan bertambahnya bayangan setelah habisnya pengurangan panjang bayangan. Hal ini dapat difahami pada waktu pagi hari bayangan sangat panjang, maka ketika matahari bergerak naik, maka bayangan semakin berkurang, maka ketika tepat tengah hari pengurangan panjang bayang mencapai puncaknya dan berhenti, kemudian ketika matahari tergelincir maka bertambahlah panjang bayangan. Beliau juga menyampaikan untuk mengetahui waktu sudah tergelincir atau belum dapat dilakukan dengan menggunakan tongkat istiwa’ untuk mengamati bayangan benda. Jika bayangan masih berkurang, maka matahari belum tergelincir (zawal) dan jika bayangan sudah bertambah, maka matahari sudah zawal.[8] Beliau juga menyampaikan bahwa proses pengamatan bayangan ini antara daerah satu dengan yang lain, antara Negara yang satu dengan yang lain berbeda sesuai dengan waktu dan negaranya.
في معرفة الزوال قال أصحابنا رحمهم الله الزوال هو ميل الشمس عن كبد السماء بعد انتصاف النهار وعلامته زيادة الظل بعد تناهى نقصانه وذلك ان ظل الشخص يكون في اول النهار طويلا ممتدا فكلما ارتفعت الشمس نقص فإذا انتصف النهار وقف الظل فإذا زالت الشمس عاد الظل الي الزيادة فإذا أردت أن تعلم هل زالت فانصب عصا أو غيرها في الشمس على أرض مستوية وعلم على طرف ظلها ثم راقبه فان نقص الظل علمت أن الشمس لم تزل ولا تزال تراقبه حتي يزيد فمتى زاد علمت الزوال حينئذ قال أصحابنا ويختلف قدر ما يزول عليه الشمس من الظل باختلاف الازمان والبلاد فاقصر ما يكون الظل عند الزوال في الصيف عند تناهى طول النهار وأطول ما يكون في الشتاء عند تناهى قصر النهار.
Apa yang disampaikan oleh Imam Nawawi ini dapat dipahami, karena lintang dan bujur tempat antara daerah dan Negara yang satu dengan lainnya berbeda, serta nilai deklinasi matahari sepanjang tahun selalu mengalami perubahan. Jika arah bayangan benda pada saat kulminasi terletak di sebelah selatan benda, berarti posisi matahari berada disebelah utara ekuatot sehingga nilai azimuth matahari bernilai 180o. Jika  arah bayangan benda pada saat kulminasi berada disebelah utara benda, berarti matahari terletak di sebelah selatan ekuator sehingga nilai azimuth matahari sebesar 0o. Dan jika bayangan suatu benda tidak ada sama sekali, berarti matahari berada pada posisi tepat 90o diatas zenith dengan azimuth matahari sebesar 90o diukur dari ufuk timur.[9]
Syekh Sihabudin Ahmad bin Muhammad Ibn Hajar Al Haitami penyusun kitab Minhajul Qawim, dan Imam Syafi’i dalam Al Umm menyampaikan bahwa awal waktu dhuhur adalah ketika tergelincirnya matahari[10]. Dalam hal ini beliau menguraikan bahwa Zawal adalah pada saat kemiringan matahari (pergeseran matahari) dari garis tengah langit atau meridian, atau pada saat istiwa’ menuju ufuk barat yang ditandai dengan terlihat jelasnya pertambahan bayangan atau munculnya bayangan ketika pada saat tengah hari tidak muncul bayangan.
( أول وقت الظهر زوال الشمس ) وهو ميلها عن وسط السماء المسمى بلوغها إليه بحالة الاستواء إلى جهة المغرب في الظاهر لنا بزيادة الظل أو حدوثه لا نفس الميل فإنه يوجد قبل ظهوره لنا وليس هو أول الوقت
Garis tengah langit yang ditentukan sebagai titik kulminasi ini merupakan garis perjalanan matahari yang ditarik dari ufuk barat dan ufuk timur sepanjang horizon.  Nilai ketinggian atau altitude matahari tertinggi dalam perjalanannya adalah 90o yang mana pada saat itu posisi matahari tepat pada meridian bumi.[11] Sehingga garis meridian merupakan garis setengah lingkaran langit yang menghubungkan titik arah utara, zenith dan titik selatan.
Jadi waktu zawal adalah waktu ketika seluruh piringan matahari meninggalkan garis meridian. Pada waktu inilah merupakan awal waktu dari sholat dhuhur. Dalam penghitungan waktu dhuhur ketika kulminasi terjadi sudut waktu matahari adalah 0o dan pada waktu tersebut matahari menunjukkan jam 12.00 menurut waktu matahari hakiki, sedangkan pada waktu matahari pertengahan belum tentu menunjukkan jam 12, terkadang lebih dan terkadang malah kurang dari jam 12 tergantung pada nilai Equation of Time (e).[12] Dalam hal ini waktu Meridian Pass dihitung dengan rumus 12 – e. Agar seluruh piringan matahari meninggalkan meridian memerlukan waktu 2 menit, sehingga para ahli falak untuk kehati-hatian diberikan ihktiyat sebesar 2 menit, sehingga dari waktu Meridian Pass terhitung sudah masuk zawal dengan ditambahkan 4 menit.

Untuk mengetahui awal waktu dimulainya waktu zawal atau waktu dhuhur, harus diketahui terlebih dahulu letak bayangan suatu benda pada saat kulminasi yang bisa diketahui dengan melihat deklinasi matahari. Jika arah bayangan benda pada saat kulminasi terletak di sebelah selatan benda, berarti posisi matahari berada disebelah utara ekuator sehingga nilai azimuth matahari bernilai 180o. Jika  arah bayangan benda pada saat kulminasi berada disebelah utara benda, berarti matahari terletak di sebelah selatan ekuator sehingga nilai azimuth matahari sebesar 0o. Dan jika bayangan suatu benda tidak ada sama sekali, berarti matahari berada pada posisi tepat 90o diatas zenith dengan azimuth matahari sebesar 90o diukur dari ufuk timur.[13]
Apabila dalam melaksanakan sholat dhuhur, waktu belum menunjukkan zawal maka sholatnya dianggap tidak sah. Karena syarat dalam pelaksanaan ibadah sholat khususnya sholat fardhu, harus sudah masuk waktu sholat yang bersangkutan. Hal ini disampaikan oleh Syekh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Qasim Al Ghaza dalam kitab Fathul Qarib Mujib, bahwa hukumnya setiap pelaksanaan sholat dilaksanakan adalah ketika sudah memasuki waktunya[14].
(خمس) يجب كل منها بأول الوقت وجوباً موسعاً إلى أن يبقى من الوقت ما يسعها فيضيق حينئذ(الظهر) أي صلاته. قال النووي: سميت بذلك لأنها ظاهرة وسط النهار (وأول وقتها زوال) أي ميل (الشمس) عن وسط السماء لا بالنظر لنفس الأمر، بل لما يظهر لنا ويعرف ذلك الميل بتحول الظل إلى جهة المشرق بعد تناهي قصره الذي هو غاية ارتفاع الشمس (وآخره) أي وقت الظهر (إذا صار ظل كل شيء مثله بعد) أي غير (ظل الزوال) والظل لغة الستر تقول أنا في ظل فلان أي ستره، وليس الظل عدم الشمس كما قد يتوهم، بل هو أمر وجودي يخلقه الله تعالى لنفع البدن وغيره
Beliau menyampaikan bahwa waktu zawal yaitu pergeseran matahari dari garis tengah langit, bukan melalui pengamatan seseorang akan tetapi dengan melihat tanda yang sudah ditunjukkan dari hasil pergeseran itu berupa perubahan panjang bayangan menuju arah timur setelah setelah kulminasi atas atau disebut dengan ghayah irtifa’ (bayang-bayang kulminasi)[15]. Para ahli fiqih sepakat bahwa awal waktu dhuhur dimulai pada saat posisi matahari telah meninggalkan meridian, dan demi menjaga kehati-hatian agar tidak melakukan sholat karena ada larangan melakukan sholat tanpa sebab pada saat waktu istiwa’, maka para ahli fiqih biasanya menambahkan nilai ikhtiyat.
Akhir waktu dhuhur dapat diketahui ketika panjang bayangan sudah menyamai panjang bendanya, kecuali jika pada saat istiwa’ bayangan benda sudah terbentuk maka akhir dari waktu dhuhur ini dihitung dengan panjang bayang benda ditambahkan dengan bayangan pada saat istiwa’ (ghayah istiwa’). Imam Nawawi menyampaikan bahwa lamanya waktu dhuhur sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW tentang waktu sholat, bahwa awal waktu ashar merupakan akhir dari waktu dhuhur. [16]Syekh Abu Ahmad juga menyampaikan bahwa waktu dhuhur adalah mulai dari zawal syamsi sampai dengan apabila bayangan benda sama dengan panjang bendanya. Saat itulah berakhir waktu dhuhur, dan juga merupakan awal dari waktu Ashar.[17]
 واما الجواب عن قوله صلى الله عليه وسلم " صلى بى العصر في اليوم الاول حين صار ظل الشئ مثله وصلي بى الظهر في اليوم الثاني حين صار ظل كل شئ مثله " فمعناه بدأ بالعصر في اليوم الاول حين صار ظل كل شئ مثله وفرغ من الظهر في اليوم الثاني حين صار الظل مثله وبهذا التفسير يحصل بيان اول وقت العصر وآخر وقت الظهر ولو حمل علي الاشتراك لم يحصل تحديد آخر وقت الظهر ولفات بيانه وقد قال في آخر الحديث " الوقت بين هذين " قال الشيخ أبو حامد ولان حقيقة الكلام أن يكون فرغ من الصلاتين حين صار ظل الشئ مثله

2.      Kajian Waktu Ghurub dalam Penentuan Waktu Sholat Maghrib
Terkait dengan proses terbenamnya matahari dalam penentuan waktu sholat khususnya akhir waktu sholat Ashar dan awal waktu sholat Maghrib, banyak para ahli fiqih dan astronomi memberikan pemahaman tentang proses ghurub. Di dalam Al Qur’an Alloh SWT berfirman:
 “ Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
Dalam ayat tersebut juga disampaikan perintah sholat untuk dilaksanakan sampai gelap malam. Dalam hal ini banyak ahli tafsir menyampaikan bahwa الليل غسق memberikan pengertian saat dimulainya gelap malam yaitu untuk penentuan sholat maghrib.[18] Sehingga para ahli fiqih mengambil pemahaman bahwa waktu maghrib dimulai ketika keadaan mulai berubah dari terang menjadi gelap yaitu pada waktu setelah matahari terbenam.
Disebut sholat maghrib karena waktu pelaksanaan sholat ini adalah pada waktu setelah matahari terbenam (maghrib: waktu terbenam) sehingga peristiwa terbenamnya matahari ini disebut dengan istilah Ghurub. Syekh Syamsudin  Muhammad bin Ahmad Asy Syarbaini dalam kitabnya Al Iqna’:
وأما المغرب فيدخل وقتها بغروب الشمس بلا خلاف والاعتبار بسقوط قرصها وهوظاهر في الصحاري وأما في العمران وخلل الجبال فالاعتبار بأن لا يرى شيء من شعاعها على الجدران ويقبل الظلام من المشرق وفي آخر وقتها قولان القديم أنه يمتد إلى مغيب الشفق والجديد أنه إذا مضى قدر وضوء وستر عورة وأذان وإقامة وخمس ركعات انقضى الوقت وما لا بد منه من شرائط الصلاة
Beliau menyampaikan bahwa masuk waktu maghrib ketika matahari telah terbenam yaitu tenggelamnya piringan matahari. Jika seseorang tidak bisa melihat matahari terbenam, waktu maghrib dapat ditentukan dengan melihat kemunculan mega merah yang muncul di ufuk barat dan langit sebelah timur sudah tampak gelap.[19] Hal ini sesuai dengan keterangan dari Imam Nawawi dalam Syarah Muhadzzabnya :
وأول وقت المغرب إذا غابت الشمس لما روى ان جبرائيل عليه السلام صلي المغرب حين غابت وافطر الصائم وليس لها الا وقت واحد وهو بقدر ما يتطهر ويستر العورة ويؤذن ويقيم ويدخل فيها فان الدخول عن هذا الوقت اثم لما روى ابن عباس ان جبريل عليه السلام صلي المغرب في المرة الاخيرة كما صلاها في المرة الاولى ولو كان لها وقت آخر لبين كما بين في سائر الصلوات
            Beliau dalam Syarah Muhadzabnya menyampaikan bahwa awal waktu maghrib adalah ketika terbenamnya matahari seperti yang telah diriwayatkan bahwa Malaikat Jibril AS sholat bersama Nabi SAW ketika matahari terbenam dan orang-orang berbuka puasa, dan tidak ada waktu lain selain waktu tersebut.[20] Dalam Minhajul Qawim waktu maghrib ditentukan dengan terbenamnya matahari sampai terbenamnya mega merah.
            Kitab Kifayatul Akhyar menyampaikan bahwa awal waktu maghrib hanya satu yaitu terbenamnya matahari, karena ini sesuai dengan hadist tentang Malaikat Jibril mengajak Nabi SAW untuk sholat maghrib pada waktu yang sama (terbenam matahari) dalam  waktu dua hari yang sama.[21] Selain itu dalam kitab Syarh Muhadzab, Imam Mawardhi menyampaikan bahwa waktu maghrib berlangsung pada saat mega merah, bintang-bintang mulai bercampur dengan langit yang dalam istilah astronomi dikenal dengan civical twilight. Dalam kitab Al Hawil Kabir li Mawardhi juga menyampaikan bahwa terbenam matahari adalah ketika matahari sudah tenggelam ke ufuk (Hajibu Asy Syams). Sedangkan Al Jauhari yang dinukil dalam kitab Syarah Muhadzab menyampaikan bahwa mega merah merupakan waktu maghrib, dan ketika mega merah tersebut berubah menjadi putih maka berakhirlah waktu maghrib.[22]
Dari pendapat para ahli fiqih diatas dapat kita ketahui, bahwa ghurub adalah peristiwa ketika seluruh piringan matahari telah terbenam ke dalam ufuk barat dan dapat diamati secara dhohir. Jika seandainya tidak dapat diamati para ulama ahli fiqih memberikan alternative dengan munculnya mega merah di ufuk barat dan bintang (nujum) sudah mulai nampak, serta langit sebelah timur sudah gelap. Jika peristiwa ini sudah terjadi maka dapat dipastikan bahwa waktu maghrib sudah masuk. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW :
وعن بريدة رضي الله عنه  أن سائلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن مواقيت الصلاة فصلى به يومين فصلى به المغرب في اليوم الأول حين غابت الشمس وصلاها في اليوم الثاني قبل أن يغيب الشفق ثم قال أين السائل عن وقت الصلاة فقال الرجل ها أنا يا رسول الله فقال وقت صلاتكم بين ما رأيتم. (روه مسلم)

Dalam menanggapi hadist tersebut Imam Rafi’I memilih qoul dari Ulama yang mengunggulkan qaul Qadim dari Imam syafi’i dan beliau merajihkan hadist ini. Demikian halnya Imam Nawawi beliau menyampaikan bahwa hadist tersebut shahih, dan ahli fiqih lain yang menggunakan (merajihkan) hadist ini diantaranya, Ibn Huzaimah, Baihaqi, Khathabi, Imam Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin dan Imam Bughawi dalam kitab Muhdzzab.[23] Para ulama ahli fiqih mengambil qaul ini sesuai dengan hadist Nabi SAW dalam penentuan waktu sholat bersama malaikat Jibril AS.
Secara astronomi Ghurub sendiri dalam istilah astronomi berarti terbenam yaitu manakala piringaan atas suatu benda langit bersinggungan dengan ufuk mar’I sebelah barat. Dalam pengertian ini, matahari atau bulan dikatakan terbenam apabila jarak zenitnya sama dengan 900 dikurangi parallax, refraksi, semi diameter matahari dan Dip. Peristiwa ini dikenal dengan nama Sunset.[24] Perhitungan tentang kedudukan matahari ini adalah perhitungan kedudukan atau posisi titik pusat matahari diukur atau dipandang dari titik pusat bumi, sehingga dalam melakukan perhitungan diperlukan memasukkan Horizontal Paralaks matahari[25], Kerendahan ufuk atau Dip[26], Refraksi Cahaya[27], dan Semi Diameter Matahari.[28] Untuk mengambil kehati-hatian nilai dari seluruh yang mempengaruhi terbenamnya matahari dibulatkan menjadi 1o . sehingga nilai h untuk waktu maghrib adalah – 1o .
Dalam memahami proses ghurub ini adalah setelah piringan atas matahari benar-benar telah tenggelam ke ufuk  dengan ditambah ikhtiyat sebanyak 2 menit, karena ada larangan pelaksanaan sholat pada saat waktu matahari terbenam. Dalam hal ini ufuk dibagi menjadi 3 macam, yaitu : Ufuk Hakiki yaitu garis yang diambil sejajar dengan bidang horizon dan tegak lurus dengan bidang vertikal dengan mata pengamat. Jarak ufuk hakiki dari zenith sebesar 90 o. Ufuk Mar’i/ Ufuk Kodrat  yaitu ufuk yang dilihat berdasarkan permukaan air laut dengan mata pengamat dan kedudukannya lebih renda dari ufuk hakiki yang dilihat berdasarkan ketinggian tempat pengamat. Ufuk Sejati yaitu ufuk yang diukur tegak lurus dengan inti bumi.[29]
Dari peristiwa ghurub ini langit di ufuk barat akan menjadi kemerah-merahan karena pemendaran cahaya matahari oleh atmosfer dan partikel-partikel di angkasa yang lama-kelamaan menjadi merah kehitaman karena matahari semakin kebawah, sehingga partikel semakin berkurang. Peristiwa perubahan warna pada langit ini dikenal dengan istilah twilight atau dalam istilah fiqih disebut dengan syafaq atau mega yang merupakan waktu dari sholat maghrib dan sholat isya’.
C.    KESIMPULAN
1.      Waktu zawal dalam tinjauan syar’i maupun astronomi tidak jauh berbeda yaitu ketika posisi matahari telah bergerak kea rah barat meninggalkan garis tengah langit/ garis meridian sehingga bayangan benda mulai memanjang ke sebelah timur. Waktu zawal merupakan penentuan awal waktu dhuhur, yaitu pada saat tergelincir matahari sampai bayangan sama panjang dengan bendanya.
2.      Waktu Ghurub menurut kajian ahli fiqih, yaitu ketika piringan matahari sudah terbenam/ tenggelam di ufuk barat yang ditandai dengan munculnya mega merah. Sedangkan menurut ahli astronomi adalah ketika posisi matahari telah berada di bawah ufuk dengan nilai ketinggian matahari – 1 derajat di bawah ufuk. Waktu ghurub merupakan akhir dari waktu Ashar dan awal masuknya waktu maghrib sampai hilangnya mega merah.




[1] Departemen Agama RI, Al Quran dan terjemahannya, Toha Putra, Semarang, 1971.hlm.138
[2] Agus Puwanto, Nalar Ayat-Ayat Semesta, (Mizan, Bandung 2012) hlm 267
[3] Muhyidin Khozin, Ibid hlm 68.
[4] Ibnu Zahid Abdul Mu’id Makalah Waktu Sholat dan Cara Menghitungnya, , 20 Juli 2010. hlm. 01
[5] Eng. Rinto Anugraha, Makalah : Mekanika Benda Langit, hlm 76
[6] Kementerian Agama RI, Almanak Hisab Rukyat, Dirjen Bimas Kementerian Agama RI, 2010, hlm. 23.
[7] Syamsudin Muhammad, Asy Syarbini,Al Iqna’, Maktabah Syamilah, hlm 347
[8] Nawawi, Majmu’ Muhadzzab, Juz 3 Maktabah Syamilah, hlm 23
[9] Nabhan Masputra, Makalah Perhitungan Waktu Sholat,,2010
[10] Sihabudin Ahmad bin Muhammad Ibn Hajar Al Haitami, Minhajul Qawim,Juz I,(Maktabah Syamilah) hlm 30
[11] Ibnu Zahid Abdul Mu’id Makalah Waktu Sholat dan Cara Menghitungnya, , 20 Juli 2010. hlm. 01
[12] Muhyidin Khozin,Ilmu Falak dalam teori dan Praktik, hlm 88
[13] Ibnu Zahid Abdul Mu’id, Ibid hlm. 3. Di wilayah pulau jawa kejadian seperti ini hanya terjadi 2 kali dalam setahun yaitu terjadi pada tanggal 28 Februari sampai 4 Maret dan pada tanggal 9 sampai 14 Maret, yang dalam istilah jawa disebut dengan istilah tumbuk.
[14] Muhammad bin Qasin Al Ghaza, Fathul Qarib Mujib, (Maktabah Syamilah) hlm 84
[15] Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Buana Pustaka, Jogjakarta, 2005, hlm 26
[16] Nawawi, Op Cit. hlm 30
[17] Imam Nawawi Al Jawi, Kifayatul Akhyar, juz 1 hlm 84
[18] Agus Purwanto, ayat Ayat Semesta, Mizan, Bandung, hlm 189
[19] Syamsudin Muhammad, Asy Syarbini,Op Cit  hlm 348
[20] Sihabudin Ahmad bin Muhammad Ibn Hajar Al Haitami, Op Cit  hlm 30
[21] Imam Nawawi Al Jawi,Kifayatul Akhyar, hlm 85
[22] Nawawi, Op Cit. hlm 36
[23] Imam Nawawi Al Jawi, Lop.Cit, hlm 85
[24] Muhyidin Khazin,Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Buana Pustaka, Jogjakarta, 2008, hlm 90
[25] Paralaks adalah perubahan arah lihat atau arah pandang pada sebuah benda kalau pengamat berada di titik pusat Bumi dengan arah pandang di permukaan Bumi. Paralaks matahari dapat juga didefinisikan  sebagai sudut yang memisahkan titik pusat Bumi dengan tempat pengamat dilihat dari benda langit tersebut. Kementerian Agama RI, Almanak Ilmu Hisab, hlm.221
[26] Kerendahan Ufuk atau Dip adalah perbedaan kedudukan antara ufuk yang sebenarnya (hakiki) dengan ufuk yang terlihat (mar’i) oleh seorang pengamat. Dalam istilah astronomi disebut dengan Dip (kedalaman) yang dapat dihitung dengan rumus Dip = 0,0293√Tinggi Tempat dari permukaan laut. Hal ini disebabkan kerendahan ufuk mar’I lebih rendah dari pada ufuk hakiki (Muhyidin Khozin, Lop. Cit. hlm 138
[27] Refraksi adalah  pembiasan cahaya matahari yang dalam hal ini adalah atmosfer bumi. Semakin miring cahaya yang dating pada lapisan luar atmosfer, makin besar pula pengaruh pembiasan terhadap ketinggian benda tersebut. Penghitungan sudutnya diukur dari titik pengamat atau titik zenitnya. (Kementerian Agama RI, Lop.Cit.hlm 221).
[28] Semi Diameter Matahari adalah separuh dari diameter matahari yang dihitung dari kaki langit hingga sepanjang lingkaran tegak dari matahari. (Muhyidin Khozin,Lop.Cit. hlm 90).
[29] Fathurrohman Sani, Diktat Ilmu Astronomi dan Ilmu Falak 1, tanggal 23 Desember 2012.